Dalam setiap ruang kekuasaan, ada satu hal yang paling berbahaya bukan pada besarnya kuasa yang dimiliki, melainkan pada rasa angkuh yang tumbuh bersamaan dengannya. Saat keangkuhan mulai merajai diri, maka pendapat rakyat tidak lagi didengar, suara kritis dianggap sebagai serangan, dan kritik dipahami sebagai bentuk penghakiman.
Sang penguasa yang seharusnya menjadi teladan dalam kebijaksanaan, kini justru kehilangan kepekaan terhadap nurani dan realitas yang terjadi di sekitarnya. Ia lupa bahwa jabatan bukanlah mahkota untuk dipertahankan dengan kesombongan, melainkan amanah yang menuntut kerendahan hati untuk mendengar dan memperbaiki diri.
Ketika kritik dianggap sebagai ancaman, di situlah tanda-tanda awal kehancuran kepemimpinan mulai tampak. Sebab dari sanalah jarak antara pemimpin dan rakyatnya makin melebar – bukan karena kekuasaan, tetapi karena hati yang tertutup oleh rasa benar sendiri.












